Memahami Kelangkaan Daging Sapi Menjelang Idul Fitri

BritaTop.Com, BOGOR- Ternak sangat berhubunhan dengan aspek sosial dan budaya yang mencerminkan nilai-nilai tradisi dan identitas masyarakat. Sebagai contoh, sapi digunakan saat qurban dan di india dianggap suci dalam agama hindu. Kambing sering digunakan dalam aqiqah umat muslim dan kerbau dalam tradisi upacara kematian masyarakat Toraja. Menurut sensus penduduk 2020, sekitar 87% populasi Indonesia menganut agama Islam. Hal ini menyebabkan peningkatan permintaan komoditas terutama pangan pada saat bulan ramadhan dan idul fitri.

Menurut penelitian Modou Ndour Faye pada tahun 2019 yang berjudul “The effects of Ramadan on prices: A comparison between 3 countries (Morocco, Senegal, Tunisia)” menunjukkan adanya peningkatan konsumsi rumah tangga selama bulan ramadhan yang berdampak pada kenaikan harga bahan pangan khususnya di Indonesia. Pangan asal ternak seperti daging sapi, daging ayam dan telur adalah komoditas yang biasanya mengalami peningkatan harga menjelang atau saat mendekati hari besar keagamaan nasional (HBKN), terutama Idul Fitri.

Jika dilihat melalui data Kementerian Pertanian tahun 2020, tren kenaikan harga daging sapi tetap stabil dalam lima tahun terakhir, dari tahun 2018 hingga 2022. Dimulai dari harga awal Rp121.850 per kilogram pada tahun 2018, harga tersebut terus meningkat secara konsisten hingga mencapai Rp134.960 per kilogram pada tahun 2022, dengan rata- rata peningkatan sekitar 3,12% setiap tahunnya. Tahun 2023 yang mencatatkan harga sebesar Rp136.530 per kilogram dan data terbaru dari Badan Pangan Nasional (Bapanas) pada tahun 2024 menunjukkan bahwa harga daging sapi murni mengalami peningkatan mencapai Rp137.530 per kilogram.

Hal ini menandakan kenaikan sebesar Rp990 atau sekitar 0,73%. Harga daging sapi berhubungan erat dengan harga daging ayam dan telur ayam ras. Sebagian orang melihat daging ayam dan telur ayam sebagai produk yang saling melengkapi dengan daging sapi. Kedua kelompok komoditas ini memiliki keterkaitan yang baik sebagai barang pengganti atau pelengkap satu sama lain. Oleh karena itu, ketika permintaan terhadap daging sapi meningkat, permintaan terhadap daging ayam dan telur ayam juga mengalami peningkatan. Peningkatan permintaan ini juga terkait dengan pertumbuhan populasi yang terus meningkat dan menyebabkan peningkatan permintaan akan bahan pangan termasuk daging sapi.

Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia dan telah mengalami peningkatan populasi secara konsisten selama lebih dari satu dekade terakhir. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia meningkat dari 272,68 juta jiwa menjadi 275,77 juta jiwa hingga pertengahan 2022. Sementara itu, data dari Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri menunjukkan bahwa pada bulan Desember 2023, populasi Indonesia meningkat sebesar 8,05 juta jiwa, mencapai 280,73 juta orang.

Peningkatan jumlah penduduk ini mendorong permintaan akan daging sebagai sumber protein, karena semakin banyaknya populasi, semakin besar kebutuhan akan makanan, termasuk daging sapi. Dengan demikian, pertumbuhan penduduk yang berkelanjutan menjadi salah satu faktor utama yang mempengaruhi peningkatan permintaan daging di Indonesia. Berkaca pada data Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) tahun 2023, rata-rata konsumsi daging sapi per individu di tingkat nasional saat ini adalah sekitar 2,25 kilogram per tahun.

Sementara itu, data dari Kementerian Pertanian tahun 2023 menunjukkan bahwa produksi daging sapi potong mencapai 437,67 ribu ton, dengan tambahan daging sapi perah sebesar 5,82 ribu ton dan daging kerbau sebesar 26,53 ribu ton, sehingga total pasokan daging mencapai 470,02 ribu ton. Namun, perkiraan menunjukkan bahwa konsumsi nasional mencapai 745,96 ribu ton, menghasilkan defisit daging sebesar 275,95 ribu ton. Harus dicatat bahwa angka ini jauh di bawah rata-rata konsumsi daging sapi per individu secara global, yang mencapai sekitar 6,4 kilogram per tahun.

Meskipun Indonesia memproduksi daging secara lokal, ketersediaan daging di tingkat nasional masih belum memenuhi harapan. Peternak sering menghadapi tantangan kompleks, termasuk kesulitan dalam distribusi dan transportasi hewan ternak dari daerah produsen ke konsumen, baik melalui jalur kapal antar pulau maupun transportasi darat. Mereka juga menghadapi dampak negatif dari perubahan iklim, penggurunan, perluasan lahan pertanian dan urbanisasi yang mengancam lahan penggembalaan dimasa depan. Semua ini mempengaruhi ketersediaan pakan untuk ternak sapi potong.

Pakan memegang peranan penting dalam meningkatkan efisiensi produksi peternakan sapi. Hijauan pakan yang merupakan komponen utama dalam diet ternak biasanya memerlukan sekitar 50–60 persen dari total biaya produksi peternakan. Namun ketika ketersediaan dan kualitas hijauan pakan tidak memadai, hal ini tidak hanya menghambat pertumbuhan ternak tetapi juga berdampak langsung pada hasil produksi daging sapi secara keseluruhan. Seperti yang terjadi di Yunani di mana kurangnya padang rumput alami telah menghambat kemampuannya untuk bersaing dengan industri daging sapi di negara-negara Uni Eropa lainnya.

Dampaknya adalah penurunan produktivitas peternakan sapi karena kurangnya pasokan pakan berkualitas yang pada akhirnya dapat meningkatkan biaya produksi bagi para peternak. Dalam skenario terburuk, penurunan produktivitas ini dapat menyebabkan kelangkaan atau bahkan penurunan stok daging sapi dipasar.

Ketika pasokan daging sapi terbatas dipasar, minat konsumen untuk memperolehnya biasanya tetap tinggi atau bahkan cenderung meningkat. Terjadi ketidakseimbangan antara penawaran dan permintaan, di mana permintaan daging sapi melebihi penawarannya. Dalam kerangka pasar yang beroperasi dengan kondisi persaingan sempurna, penjual memiliki kesempatan untuk menaikkan harga karena konsumen bersedia membayar lebih untuk mendapatkan daging sapi yang langka tersebut. Ini berarti penjual dapat memanfaatkan situasi ini untuk mengoptimalkan keuntungan dengan menaikkan harga produk daging sapi.

Akibatnya, konsumen mengalami kesulitan dalam mendapatkan dan membeli daging sapi, sementara harga daging sapi dapat melonjak secara signifikan karena permintaan yang melampaui pasokan.
Prinsip hukum permintaan menyatakan bahwa ketika permintaan meningkat sementara pasokan terbatas, harga akan naik. Fenomena peningkatan harga ini sering dikaitkan dengan inflasi dalam konteks ekonomi. Inflasi terjadi ketika harga barang dan jasa umum meningkat secara berkelanjutan dalam periode waktu tertentu.

Menurut Sukirno dalam “Makroekonomi” (2013), inflasi dapat diklasifikasikan berdasarkan penyebab kenaikan harga. Pertama, terdapat inflasi tarikan permintaan, yang terjadi saat permintaan agregat meningkat secara signifikan dibandingkan dengan penawaran agregat. Kedua, terdapat inflasi desakan biaya, yang timbul karena peningkatan biaya produksi mengakibatkan penurunan produksi dan penurunan persediaan barang. Ketiga, terdapat inflasi impor, yang disebabkan oleh kenaikan harga barang impor.

Kenaikan harga daging sapi yang terjadi saat ini adalah akibat dari ketidakseimbangan antara produksi dan tingginya permintaan masyarakat terhadap daging sapi. Inflasi sering terjadi pada periode besar seperti bulan Ramadhan hingga menjelang hari raya Idul Fitri karena tambahan pendapatan dan meningkatnya perilaku konsumtif masyarakat yang menciptakan tren inflasi musiman.

Meskipun secara teoritis inflasi mengurangi daya beli masyarakat selama bulan Ramadhan dan menjelang Idul Fitri, daya beli masyarakat justru meningkat. Hal inimenghasilkan permintaan barang dan jasa yang berlebihan yang dikenal sebagai inflasi permintaan penuh yang berdampak pada kenaikan harga, terutama daging sapi dipasaran. Jika dianalisis lebih lanjut, faktor utama kenaikan harga daging dalam hal ini daging sapi, karena berbagai kendala dalam sektor peternakan, mulai dari pemeliharaan hingga distribusi, sepanjang rantai pasokan.

Oleh karena itu, menjelang Idul Fitri menjadi momen yang tepat untuk menaikkan harga. Harga yang naik cenderung sulit untuk kembali ke level awal, sebagai konsekuensinya Indonesia harus melakukan impor daging sapi. Kebijakan impor diperlukan sebagai upaya untuk memastikan ketersediaan stok daging dalam negeri dan mencegah lonjakan harga yang sewenang-wenang. Diterapkan dengan fleksibilitas, kebijakan ini memungkinkan impor dilakukan saat pasokan lokal tidak mencukupi dan dihentikan saat pasokan lokal memadai.

Selain itu, kuota impor perlu diterapkan secara selektif terhadap bahan pangan tertentu untuk menjaga stabilitas harga dan nilai tukar peternak. Oleh karena itu, kebijakan yang fleksibel ini penting bagi pemerintah untuk mencegah kenaikan harga yang tidak proporsional atau tidak wajar. Oleh karena itu yang terpenting saat membuka pintu impor, harga internasional harus selalu lebih rendah dari harga domestik untuk menjaga stabilitas ekonomi dalam negeri. Dengan demikian, kebijakan impor dianggap sebagai langkah proaktif untuk mencegah kelangkaan dan kenaikan harga yang signifikan di pasar daging dalam negeri. (red/id)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *