Andai tidak ketemu Profesor Andi Bahrun, Rektor Universitas Sulawesi Tenggara, kemarin sore, saya tidak akan mencoba mencari tahu lebih detail apa itu konsep MBKM yang digagas Mendikbudristek Nadiem Makarim. Merdeka Belajar – Kampus Merdeka.
Selama ini, kata MBKM hanya wara-wiri di telinga saya. Mengenai bagaimana isinya, pikiran awam saya berkata: lain menteri lain nama. Prinsip tetap sama.
Ternyata MBKM beda. Membaca ini, saya yakin mereka yang berkecimpung di dunia pendidikan –terutama pendidikan tinggi– akan tertawa sembari berkata, kamu kemana saja selama ini.
Tapi tidak apa, saya hanya mencoba berbagi, karena sepertinya banyak juga yang seperti saya. Prof. Andi Bahrun menyederhanakan penjelasan konsep itu, agar kami –tamunya sore itu– mencernanya lebih cepat. Dijelaskan di tengah dua piring pisang goreng hangat-hangat kuku. Lebih cepat masuk memang. Maksudnya, pisang gorengnya…hehehe.
Prof. Andi Bahrun tipe periang, gercep, senang hal baru yang inovatif. Itu kesan saya, yang baru pertama kali berinteraksi denganya. MBKM menginspirasinya untuk berinovasi mengembangkan perguruan tinggi yang dipimpinnya.
Tujuan akhir dari MBKM adalah bagaimana lulusan perguruan tinggi memiliki pekerjaan dengan penghasilan yang layak. MBKM diformulasi sebagai jawaban atas kegelisahan banyak orang bahwa lulusan perguruan tinggi tidak relevan dengan tuntutan dunia kerja.
Satu hal yang langsung diimplementasikan di Unsultra adalah wisudawan terbaik tidak lagi bertumpu pada IPK tertinggi. Melainkan pada prestasi lulusan itu. Oleh karenanya, selama perkuliahan, SKS yang dilulusi mahasiswa tidak melulu soal mata kuliah yang ada dalam silabus.
Organisatoris, enterprenuer, seniman, olahragawan, atau apapun bidang yang ditekuninya, sepanjang dia berprestasi, punya dampak signifikan bagi diri dan lingkungannya, mendapat pengakuan, itu akan dihitung sebagai SKS yang akan dilulusi.
Soal berapa jumlah SKS-nya, akan ditentukan oleh pengelola program studi masing-masing.
Seorang mahasiswa komunikasi, yang kesehariannya adalah atlet dayung, misalnya, berhasil meraih juara di suatu kompetisi yang diakui, prestasinya itu akan dikonversi menjadi sejumlah SKS yang dilulusi. Mengenai mata kuliah apa, itu diatur oleh tim yang telah dibentuk khusus untuk itu di masing-masing program studi.
Demikian juga jika dia pemimpin organisasi, pemilik usaha yang atas namanya sendiri, semua itu akan dikonversi dalam bentuk SKS yang dilulusi. Sehingga, mahasiswa yang memiliki aktivitas positif di luaran, justru berpotensi lulus cepat.
Beda di masa lalu, saat saya kuliah. Ada aktivis yang terancam DO karena tidak pernah masuk kuliah. Sekarang, aktivis bisa cepat lulus. Meskipun demikian, ke-aktivisan-nya itu harus terverifikasi. Kalau dia ketua atau pengurus BEM, bisalah dikonversi jadi SKS.
Namun, jika pengurus BEM juga tidak, kuliah tidak, setiap ada ban dibakar di pinggir jalan dia hadir, lantas dengan itu mengaku aktivis, menuntut konversi SKS, tunggu dulu anak muda. Kita bicara dulu. Konsep MBKM di pendidikan tinggi kini mengapresiasi kiprah mahasiswa di luar perkuliahan.
Kalau mengutip kalimatnya Prof. Andi Bahrun, mereka yang berhasil masuk ke dunia kerja dengan penghasilan yang layak, bisa jadi karena prestasi olahraganya, kemampuannya berorganisasi, dunia kesenian yang digelutinya, karena kapasitasnya mengelola usaha, atau apapun yang meningkatkan nilai tawarnya di dunia kerja. Bukan semata karena IPK. Unsultra melakukan itu.
Sumber: Facebook Andi Syahrir
#Catatan_Secarik_Selarik